Bisnis Fesyen Baju Koko di Indonesia

Amelia Ayurahmadillah
0

Film dan fesyen adalah elemen yang saling terkait erat dalam industri kreatif. Keterkaitan antara keduanya dicirikan antara lain oleh kemampuan film dalam membentuk tren. Di Indonesia, misalnya, tautan tersebut paling baik dibuktikan dengan baju koko (sejenis pakaian tradisional muslim yang biasa dikenakan selama hari raya Islam) yang terinspirasi oleh film Hollywood Black Panther (2018). Film ini termasuk yang populer, menghasilkan USD 12 juta sekitar Rp 174 miliar hanya di Indonesia, dan menjual sekitar sembilan juta tiket. Film tersebut diputar di bioskop Indonesia dari Februari hingga Maret 2018, beberapa bulan sebelum liburan Ramadhan puncak 
musim belanja.


Tinjauan Literatur dan Isu-Isu Teoritis
Film telah berperan penting dalam perkembangan industri fesyen, baik sebagai media promosi maupun representasi (Lihat Lunden, 2015, 2018). Berdasarkan tinjauan pustaka kami, tidak ada penelitian yang secara khusus memfokuskan pada hubungan antara bisnis film dan fesyen di Indonesia. Studi-studi sebelumnya tentang film Indonesia telah menempatkan mode sebagai salah satu elemen dari "budaya layar" yang lebih kompleks dalam diskusi yang lebih luas tentang politik identitas, ekspresi budaya agama, dan kelas sosial (Heryanto, 2015; Rakhmani, 2014); budaya pop dan modernitas (Hanan dan Koesasi, 2011); dan aspirasi gender (Hariyani, 2018; Surahman, 2015). Bisa jadi studi semacam itu tidak ada karena setiap upaya untuk menemukan korelasi langsung antara kedua bisnis ini dapat menghasilkan penjelasan yang sederhana. Mengutip Ariel Heryanto, hubungan budaya layar Indonesia dengan kapitalisme industri bersifat dinamis dan dialektis, sehingga tidak dapat direduksi menjadi masalah komodifikasi dan konsumerisme (Heryanto, 2015: 39). Banyak faktor yang mempengaruhi 
kesuksesan sebuah film, sehingga tren dan penjualan produk dipengaruhi olehnya.


Hubungan Industri Film / Media dengan Industri Fesyen di Indonesia
Film (dan media audio visual lainnya pada umumnya) telah lama digunakan oleh pelaku bisnis fesyen untuk mempromosikan produknya kepada masyarakat. Praktik ini sudah lazim setidaknya sejak awal 1990-an, ketika stasiun televisi swasta pertama kali muncul di negara tersebut. Pencarian kami atas program berita yang diarsipkan menemukan bahwa dukungan (endorsement) pembawa berita terhadap 
produsen / distributor pakaian (termasuk logo / merek mereka) sudah lumrah. Strategi pemasaran tersebut telah digunakan oleh merek dan distributor fesyen lokal dan internasional, antara lain Fizz Productions, Brilliant Collections, Ballin Accessories, Kwong Tung Tailor, dan Marks & Spencer. Praktik ini hanya tumbuh ketika media baru dan kelompok selebriti, termasuk aktor / aktris film, bermunculan.


Pengaruh film pada trend fesyen dan penjualan pakaian 
Menurut salah satu fashion stylist, tren fesyen yang terinspirasi dari film seringkali muncul tanpa disengaja (tetapi memang diharapkan). Quartini Sari, perancang busana Dilan 1990, awalnya tidak menyangka jaket yang dikenakan sang karakter akan menjadi populer. Menurut wawancara yang dimuat di beberapa media, jaket itu didesain bukan untuk menciptakan tren baru, melainkan menonjolkan karakter utamanya; Dengan kata lain, penambahan kerah korduroi coklat dan bendera terbalik untuk meningkatkan ketenarannya (Tashandra, 2018). Meskipun demikian, ornamen inilah yang mendorong popularitas model tersebut. Hal senada diungkapkan Retno R. Damayanti yang mendesain kerudung yang dikenakan Anisa, tokoh dalam film pemecahan rekor Ayat-Ayat Cinta (2008)8 Dia tidak pernah membayangkan bahwa desain ini akan menjadi tren, meskipun menjadi sangat populer di kalangan wanita muda Muslim (lihat Kholil, 2009).


Keinginan Menciptakan Tren Fesyen: Tidak Selalu Sukses
Dalam beberapa kasus, rumah produksi berniat menciptakan tren mode baru. Dalam hal ini, fashion stylist sengaja diminta untuk mendesain atau memilih gaya pakaian yang berpotensi menjadi populer di pasaran. Kasusnya beragam, mulai dari motif batik tertentu yang dikenakan tokoh utama film Habibie dan Ainun (2012) hingga motif hijab yang dikenakan para tokoh film Surga yang Tak Dirindukan dan sekuelnya (2015, 2017). Dalam kasus film Surga Yang Tak Dirindukan, pihak rumah produksi bekerja sama dengan desainer ternama Mel Ahyar merancang model yang diharapkan bisa menjadi trend hijab berikutnya. Namun, upaya yang disengaja seperti itu tidak selalu membuahkan hasil. Pencarian kami untuk informasi lebih lanjut tentang produk dari film-film ini meyakinkan kami bahwa mereka tidak menjadi populer di pasar.


Integrated Business: Lessons from Filosofi Kopi
Pelajaran yang bisa dipetik dari kesuksesan unik film Indonesia Filosofi Kopi (2015) dan sekuelnya, Filosofi Kopi 2: Ben & Jody (2017) Perusahaan produksi tidak menghentikan usahanya setelah memproduksi dan memasarkan film, tetapi juga mengembangkan serangkaian kedai kopi di kota-kotadi seluruh Indonesia. Para produsen, sutradara, dan pelaku memadukan 'perayaan budaya minum kopi Indonesia ke dalam produk yang mereka pasarkan, dengan menggunakan nilai-nilai kebersamaan, keakraban, dan kolaborasi pemasarannya.





Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)